Malam Minggu Piyul
Malam
minggu ini mengingatkan aku pada malam minggu dimana aku tersadar dari
kebodohanku. Hehe. Dari awal kujelaskan
bahwa ini bukanlah tentang aku yang gagal move on. Maaf , aku bisa gila lebih
dari ini jika aku gagal move on. Ini hanya tentang kebanggan diriku bahwa aku
dapat melewati masa-masa laknat itu. Duh, sekejam itukah ? Aku tidak tahu.
Namun yang pasti, prosesnya sangat panjang dan menyakitkan hingga sampai ke
titik ini. Banyak air mata yang terbuang sia-sia. Banyak waktu yang terbuang. Dan
yang paling parah, trauma akan slogan “yang hijau yang menyakitkan” akan terus
melekat dihidupku. Seberapa pun aku berusaha untuk menerima lagi sesuatu yang
baru, namun pada akhirnya setiap dari mereka mundur teratur melihat sikapku
yang terkadang membandingkan dengan yang dulu-atau bahkan memukul sama rata
bahwa yang berseragam sepertinya memang mempunyai bekal untuk berbuat
sedemikian rupa.
“Huftt……….
Aku menarik napas lalu mebuangnya dengan panjang. Percayakah, kadang nafas
panjang juga mengartikan bahwa kesabaran kita harus lebih panjang daripada umur
kita. Air mataku sudah akan membanjiri pipi, namun buru-buru kuseka. Dadaku
terasa sesak, bergemuruh melawan ego yang akan terpecah jika aku
menghendakinya. Tenggorokanku pula tercekat luka dua tahun yang terus bersarang
dan akan seterusnya-mungkin.
Kadang
aku membenci proses ini. Karena tidak ada akhirnya. Aku belum merasakan betul
akhirnya, yang pasti beberapa teratasi dengan baik, namun kapan bisa saja
runtuh dan aku harus mengulangnya dari nol. Barangkali ini hanya soal waktu dan
penemuanku soal penggantinya yang belum juga kutemukan. Ya! Aku belum bisa
menemukan yang lebih baik darinya. Aku selalu menganggapnya baik hingga kini.
Aku tidak ingin menjadi jahat dengan mencap dia berkhianat dan berdusta
walaupun kenyataannya seperti itu. Aku juga tidak yakin tentang ini, barangkali
harus ada pembicaraan dengan gambling dari mulutnya. Aku ingin mendengarnya
dengan penjelasan yang jujur-sekalipun itu menyakitkanku untuk kedua kali. Dan
terakhir, aku ingin dia meminta maaf atas kesalahannya padaku. Barangkali
terlalu tinggi keinginanku, namun tak sebanding dengan kesalahannya yang
terlalu besar membohongiku.
Dalam
hal ini, aku tidak ingin melibatkan orang ketiga. Dia biarlah bertanggung jawab
dengan segala perbuatan dalam hidupnya. Boleh jadi ia tak merasa bersalah, aku pun
juga tak memaksanya untuk mengaku bersalah. Barangkali memang ia tak bersalah
(hahahahah-LUCU)
Ini
adalah soal aku dan dia. Bolehkan aku memberontak bahwa aku tidak akan
baik-baik saja ketika dia berbohong ? Walaupun itu adalah kebaikan atau takdir
atau entahlah. Aku membaca postingan pasangannya kini, bahwa mereka adalah
takdir, mereka adalah jawaban doa orang tua mereka, mereka adalah sesuatu yang
penuh dengan ketegasan tanpa komitmen pacaran. Mereka adalah cinta yang
sempurna dari Tuhan. Dan mereka adalah pasangan yang sedang diprotes oleh
mantan kekasih sang suami karena merasa pacarnya direbut.
Sederhana saja. Pertama kali aku
mengenalnya, kami melalui proses perkenalan yang baik. Tak ada sesuatu yang
ditutupi. Si lelaki begitu manis, dan si wanita begitu manja. Adakah yang salah
dari dua orang yang saling mencintai berbagi kebahagiaan dengan memperlihatkan
kasih sayangnya pada orang sekitar ? Tiba-tiba sang lelaki perlahan berubah-mulai
dari situlah si wanita terlalu bodoh untuk memahami bahwa cinta itu menjadi
rumit karena kebohongan. Salahkah jika menyebut itu adalah drama yang mereka
lakukan dari belakang ? bahwa jika ini dikatakan takdir, apakah takdir sebegitu
jahatnya ? Bisa jadi memang ini adalah Qadar dari Allah. Jauh-jauh hari sudah
tertulis. Bahkan orang yang yang sudah ditakdirkan menjadi pencuri pun harus
kita pahami dan maklumi bahwa takdirnya memang jahat. Sama seperti jalan
cintanya dengan pasangannya yang sekarang.
Hahahah …………….
Barangkali
itu adalah perasaanku ketika beberapa tahun tahu lalu yang akhirnya baru
terungkap tahun ini. Namun aku terus berusaha untuk menganggap bahwa ini adalah
manis pahitnya hidup. Ini adalah sesuatu yang mendewasakanku. Bahwa ketika dengan
ketidakadilan membuatku belajar untuk menghargai orang terutama disekelilingku.
Bahwa ini juga takdir yang mau tidak mau, suka tidak suka aku harus terima.
Menikmati proses move on itu juga
merupakan nikmat tersendiri. Ada jatuh bangunnya-dan maklumi saja jika banyak
waktu jatuhnya. Akan ada sedikit drama yang membuat hati dan otak panas. Akan
ada sikap kurang berkenan. Namun segalanya bisa berjalan dengan sedemikian
baiknya, karena sekarang aku lebih percaya bahwa Allah sudah menyiapkan segala
yang lebih baik untukku. Dia yang baik kemarin memang aku tidak pantas untuk
mendampinginya. Teruntuknya, aku mengirim doa agar selalu dilimpahkan
kebahagiaan dengan keluarga kecilnya. Segalanya berjalan dengan semestinya.
Proses ini barangkali membuatku
menjadi baik. Dan semua ini tak terlepas dari doa orang tua dan beberapa orang
di sekitarku yang akhirnya menjadikanku sedemikian rupa. Beberapa proses move
on ini akan kuceritakan esok entah lusa. Yang pasti kukabarkan pada dunia bahwa
di malam minggu ini-diwaktu aku menulis ini, aku baik-baik saja. Aku
mensyukurinya segala jalan ceritanya yang entah bermuara dimana. Yang pasti,
“Jalani, Nikmati, Syukuri”.
ND –
Magelang, 21 Maret 2020
Komentar
Posting Komentar